Hari ini, 28 Desember 2013.
Kue Tari Pertamaku
Siang sangat terik, sudah 3 hari
tidak turun hujan. Padahal biasanya hujan tak pernah berhenti turun,
seperti air mata perawan yang baru saja ditinggal kekasihnya. Cucianku
pun bau asam, bisa dibuat bumbu jika mau membuat sayur asam. Sayangnya
musim hujan tak cocok makan sayur asam. Jadi, cucianku berdiri
tergantung di tiang jemuran dengan khidmat sampai lebih dari seminggu.
Namun, tidak dengan 3 hari ini. Matahari tak malu-malu menyebarkan sinar
keemasannya yang membuat gerah. Repot memahami manusia, diberi hujan
protes cucian tak kering, diberi panas protes gerah. Untungnya matahari
tak pernah mengeluh. Bayangkan kalau dia mengeluh, bisa-bisa tak ada
sinar yang masuk ke bumi.
Berlanjut ke cucian lagi, hari ini
cucianku sukses berhenti dari hukuman pancung yang dijalaninya
berhari-hari. Aromanya yang wangi bak bunga kamboja menyeruak dari serat
kainnya jika diusap pelahan. Ya, silakan tebak aku memakai pewangi apa.
Ketika
sedang asyik-asyiknya melipat baju sambil menikmati harumnya bungga
kamboja, tiba-tiba Asma berteriak, “Aku mau rotinya, Yah!”
Aku
tetap pada kesibukanku, tak menghiraukan teriakan Asma kepada Ayah di
ruang belakang. Pikiranku cukup suntuk dengan setumpuk cucian di depanku
yang membutuhkan belaian lembut tanganku agar siap dimasukkan ke
lemari.
“Selamat ulang tahun …, ” sebuah lagu terlantun dengan kasar dari bibir Ayah.
Suamiku
memang tak pernah menyanyi dengan lembut, bersikap lembut pun sangat
jarang. Apalagi melakukan hal seperti ini. Maklumlah jika suaranya cukup
kasar dan kaku di telingaku.
Aku terkejut, tapi tetap tersenyum
sambil menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun bersama anak dan suamiku.
Ini adalah lagu dan kue tart pertama yang dinyanyikannya untukku. Karena
selama 3 tahun kami menikah, dia sama sekali tak pernah melakukan hal
seperti ini.
Suami yang tak pernah romantis, kini berusaha
romantis untukku. Walaupun toh kenyataanya ulang tahunku telah lewat 10
hari yang lalu, tapi tetap saja usahanya untuk membuatku tersenyum patut
diacungi jempol.
Akhirnya, aku dan Asma meniup lilin bertuliskan angka 25 secara bersama-sama. Kami tertawa bersama, tetap dengan cucian
yang masih menumpuk di depanku.
“Selamat ulang tahun, Sayang! Maaf telat,” ucapnya, lalu mencium keningku.
Ya, usahanya cukup bagus. Namun, sepertinya harus sore hari, pas sudah
mandi. Agar bisa foto bareng keluarga kecil di moment pertama yang tak
terlupakan ini. Pastinya tidak foto bareng cucian. Inilah kisah di balik kue tart pertama 🙂